Jumat, 18 September 2009

SPIRITUALISME DALAM MARKETING



Hidup adalah pilihan. Setiap pilihan ada risikonya". Pernyataan ini berlaku pada fenomena pemasaran saat ini. Bahwa sekarang dunia pemasaran dapat didekati dari berbagai disiplin pengetahuan, mulai dari ilmu psikologi, antropologi, hingga ilmu spiritual. Pilihan tergantung masing-masing penggunanya dengan --tentu saja-- mempertimbangkan kebutuhan dan manfaat yang diperolehnya.
Pendekatan pemasaran terbaru dan mulai sering diulas akhir-akhir ini adalah spiritual marketing. Sebuah strategi pemasaran yang memanfaatkan nilai-nilai spiritual yang hidup di tengah masyarakat yang dipercayai dapat mengikat lebih erat hubungan antara produsen dengan konsumen dan konsumen dengan merek-merek yang digunakannya. Melalui simbol-simbol spiritualisme, setidaknya mendorong terjadinya ikatan batin antara produk dengan konsumennya yang berujung pada hubungan jangka panjang.

Sumardy Ma, Direktur Bisnis Mavens Group, mengatakan, makin diterimanya pendekatan spiritual berawal dari makin bertajinya komunitas. Kumpulan orang-orang yang memiliki kesamaan minat ini terbukti saling mengikat, mendorong, mengarahkan, dan mempengaruhi satu sama lain. Kekuatan komunitas inilah dikatakan Sumardy, sebagai basis spiritual yang dapat dimanfaatkan oleh pemilik merek memasuki pasar.


Apalagi dalam kehidupan diperkotaan yang membuat orang mengalami tingkat stres dan ketidak pastian yang tinggi, menurut Agus S. Soehadi, pengajar dari Prasetya Mulya, mendorong kebutuhan spiritual yang sangat besar di kalangan masyarakat. Agus mengatakan, kini konsep kebahagiaan menjadi sesuatu yang artifisial. Banyak produk ataupun program di media menawarkan kebahagian yang artificial, seperti kisah yang ada di sinetron, reality show, Indonesian Idol, dan sebagainya. Walaupun secara materi bagi sekelompok masyarakat dapat diperolehnya dengan mudah, tetapi perasaan kesepian, keresahan, perasaan yang kosong ternyata tidak bisa dipenuhi oleh kepemilikan materi. "Situasi ini menurut beberapa ahli mengakibatkan terjadinya kelelahan spiritual.", ungkapnya.


Disinilah kemudian menjadi peluang bagi para pemasar mengembangkan produk-produk dan cara-cara pemasaran yang dapat kebutuhan spiritual masyarakat. Tujuannya adalah meraih simpati sekaligus mengisi kekosongan spiritual yang makin langka di zaman modern sekarang ini. Jadi, spiritual marketing tidak selalu terkait dengan agama. Agus mencontohkan, keinginan untuk berbagi pengalaman atau menolong masyarakat yang tidak beruntung adalah sisi-sisi spiritual setiap manusia. "Nah, kebutuhan ini diterjemahkan oleh pemasar dalam "caused related marketing", dimana dari setiap pembelian yang dilakukan oleh konsumen sebagian dananya digunakan untuk kegiatan sosial," paparnya lagi.


Praktek spiritual marketing sangat luas dan kadar yang digunakan pemasar berbeda-beda. Ada pemasar yang memanfaatkannya sekadar tools untuk tujuan jangka pendek semata. Ketika terjadi bencana alam di Aceh, Yogyakarta, dan yang terbaru: Situ Gintung, banyak pemasar memanfaatkan promo dengan belanja produknya senilai tertentu, sebagian akan disumbangkan untuk korban bencana. Setidaknya, Sari Ayu dan Aqua pernah melakukannya.


Cara semacam itu biasanya memang memperoleh simpati dari konsumen. Simpati tersebut tidak hanya berupa respon membeli produk, tapi juga meraih citra positif perusahaan yang dinilai peduli terhadap kemanusiaan. Sebab konsumen akan merasa bangga menggunakan produk yang dicitrakan peduli sesama.


Ada pula, pemasaran spiritual yang sengaja dilakukan untuk memperbesar pasar. Maksudnya, demi meraih pelanggan baru, produk yang awalnya ditujukan untuk pasar massal, kemudian dikembangkan untuk pasar tertentu saja. Contohnya banyak. Misalnya, Sunsilk, pernah meluncurkan sampo untuk konsumen berkerudung mengadopsi kebutuhan wanita berjilbab. Lalu, operator telekomunikasi yang sengaja menambah fitur baru pada bulan Ramdhan atau ketika musim Haji tiba. Pendekatan pemasaran seperti ini memang terkesan artifisial, namun terbukti pasar terpikat pula. Meskipun, kelangsungan hidupnya seringkali tidak bisa dijamin lama.


Axis termasuk contoh menarik di sini. Pada tahun 2008 sengaja meluncurkan Axis Salam tepatnya menjelang bulan suci Ramadhan. Axis Salam adalah produk kartu perdana Axis yang terus berkelanjutan. Dikatakan Paras Nasution, Vice President Channel & Distribution Axis, produknya diluncurkan karena kepedulian terhadap perkembangan dakwah Islam di Indonesia yang sangat membutuhkan media informasi antar komunitas dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan silaturahmi yang selama ini menjadi tradisi penting dalam kehidupan spiritual ummat Islam di Indonesia


Axis Salam yang mengusung fitur syiar/dakwah Islam. Pelanggan kartu Axis Salam ini setiap hari dapat menerima SMS tentang tausiyah tauhid, SMS Alquran, dan content Islam lain secara gratis. Untuk itu, Axis Salam didukung beberapa komunitas Islam, seperti Majelis Az Zikraa (Komunitas Zikir Arifin Ilham), Daarut Tauhiid (komunitas Aa Gym), Tazkia (komunitas Dr. M. Syafii Antonio), Radix Training Center (komunitas Tasawuf Ustadz Wahfiuddin), Irena Centre (komunitas muallaf pimpinan ustadzah Irena Handono), Komunitas Cinta Rasulullah (Hadad Alwi), Kelompok Super Memory Asmaul Husna (SMASH) dan Klub Majalah Noor.


Dalam hal ini target Axis Salam adalah orang Islam dari semua kalangan, dari anak-anak hingga usia tua yang membutuhkan siraman rohani (tausiyah) melalui alat bantu handphone. Untuk mendapatkan tausiyah, bisa saja dari orang-orang sekitar, dari guru di pengajian, dengar radio, baca buku atau menonton televisi. "Kami menggandeng komunitas Islam," ujar Paras.


Kadar paling tinggi adalah pendekatan pemasaran spiritual yang direncanakan sejak awal produk diluncurkan. Jadi, dari awal sudah diancangkan siapa target pasarnya dan bagaimana cara memasarkannya. Contoh paling tepat tentang pendekatan ini adalah Bismillah Telekomunikasi atau disingkat dengan nama Bisstel. Bisstel didirikan oleh KH. Nadjib Sungkar, bekerjasama dengan SMART (Sinar Mas Group).


Dikatakan KH Nadjib, awalnya adalah kebutuhan komunikasi di lingkungan pesantrennya yang sudah berdiri 33 tahun lalu. KH Nadjib memiliki 146 pondok pesantren, 389 Mesjid dan Musollah, 3251 anak asuh, 192 madrasah, 3923 pengajian Bismillah, 5 rumah ibadah. Total jendral, umatnya mencapai 8.897.000 orang


Selama ini mereka mutlak membutuhkan alat komunikasi. "Keluarga besar Bismillah bisa menelepon saya selama 23 jam setiap harinya," ungkapnya. Selain itu, KH Nadjib juga menerima dan menjawab SMS setiap harinya tidak kurang dari 400 SMS. Kebutuhan komunikasi yang sangat tinggi inilah mendorongnya untuk membangun Bisstel yang sesuai dengan ajaran yang dianutnya.


Maka, 25 Agustus 2007 lalu lahirlah Bisstel yang fitur-fiturnya sangat agamis. Ada doa-doa yang setiap saat bisa didengarkan dan diterima lewat sms dan ada pula program zakat bagi pembeli pulsa isi ulang. Untuk pemasarannya, Bisstel malah tidak beriklan. "Daripada beriklan di TV, lebih baik saya membuat pesantren dan menyantuni anak yatim," tandas KH Nadjib.


Jadi, sistem penjualanya menggunakan jalur tersendiri. Misalnya setiap ada acara yang dibuat oleh keluarga besar Bismillah, Bisstel selalu dijual . Seperti pada bulan Maret lalu, Bisstel di Jabodetabek laku sekitar 25.750 buah dalam satu hari.


Toh, berkat produknya yang spesifik dan cara pemasarannya yang unik, kini pemakai Bisstel sudah mencapai hampir 1 juta pengguna. KH Nadjib yakin, ke depan Bisstel akan makin banyak penggunanya. Keyakinan itu tumbuh karena hubungan kekeluargaan antarkomunitas Bismillah yang erat dan strategi dari mulut ke mulut (word of mouth) yang efektif. "Disini pun sudah terlihat, rasa kepemilikan antaranggota keluarga Bismillah sangat kuat," tandasnya lagi.


Agus W. Soehadi menilai, berapapun besar kadar spiritual yang digunakan dalam pemasaran, yang pasti, pendekatan spiritual merupakan salah sumber diferensiasi yang dapat dikembangkan oleh pemasar untuk memenangkan persaingan. Jadi, ujung-ujungnya persaingan dan demi meraih keuntungan.


Hal ini yang dikritisi Iwan Setiawan, Manajer Markplus Consulting, bahwa spiritual marketing masih menjadi kosmetik belaka. Dari pengamatannya pendekatan spiritual yang sangat artifisial biasanya hanya cocok untuk niche market dan tidak akan berkembang baik. Contohnya yang terjadi pada produk. Salam Mie yang dulu bernuansa Islami hanya mampu meraih pangsa pasar yang terbatas meski mayoritas masyarakat beragama Islam. Bank-bank syariah pun kesulitan berkembang jika bernuansa agama.


Menurut Iwan, spiritual marketing harus diartikan sebagai memasarkan visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan yang berhubungan dengan isu sosial seperti kesehatan masyarakat,isu ekonomi seperti pengentasan kemiskinan, dan isu lingkungan hidup seperti penghijauan.


Untuk bisa sukses, pendekatan ini harus benar-benar mendalam dan tidak boleh semata-mata kosmetik atau sebagai alat PR, apalagi alat jualan. Di dalam spiritual marketing, isu-isu ini terbentuk langsung sebagai bagian mendalam dalam visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan. Contohnya adalah perusahaan seperti Timberland dan Body Shop yang memang model bisnisnya bernuansa lingkungan dan sosial. Spiritual marketing dalam arti ini akan lebih luas pasarnya dan cenderung sukses.


Sumber : dikutip dari (http://mix.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar