Rabu, 04 November 2009

STRATEGI PENETRASI MARKET-NYA “BUNGLON”

Iwan Kumara, Marketing Manager Jeeves, bercerita kepada MIX bahwa pada saat-saat turbulensi ekonomi—pada 1997-1998 dan tahun lalu, kaum affluent, yang merupakan pasar utama Jeeves, juga melakukan upaya mengencangkan ikat pinggang, menahan pembelian baju-baju baru. Konsukuensinya, mereka kembali menggunakan baju-baju koleksi lamanya. "Jadi koleksi mereka dibongkar, dicuci untuk kemudian dipakai pada tahun-tahun sulit tersebut," kata Iwan. Tak heran, pada periode ini Jeeves merasakan adanya blessing in disguise berupa omset yang lebih besar 2%-3% dari periode biasanya.

Segmen yang disasar Jeeves tidak hanya yang berada pada SES (status sosial dan ekonomi) A dan A+, tapi juga mereka yang mengganggap busana bukan sebagai kebutuhan pokok—melainkan investasi. "Misalnya pemilik jaket kulit seharga Rp 120 juta," kata Iwan. Pakaian, lanjut Iwan, pada umumnya bermakna self esteem bagi customer Jeeves.

Dengan karakter konsumen seperti ini, Jeeves berusaha melakukan layanan personal bagi para pelanggannya, misalnya petugas frontliner hafal nama customer dan memanggil mereka dengan nama masing-masing—ketika customer tersebut datang ke outlet Jeeves yang sampai saat ini berjumlah 14 di 3 kota besar (11 di Jakarta, 1 di Bandung, dan 2 di Surabaya).

Jeeves dengan tarif selangit, ternyata mampu tumbuh 20% per tahun, sejak 1996, artinya pasar untuk laundry kelas superpremium ini tumbuh. Kelas yang dituju barangkali hanya 1% dari total kelas sosial yang ada, namun secara nilai, omsetnya bisa sangat mencengangkan—sayang, Iwan tidak berkenan menjawab pertanyaan tentang angka-angka, terutama seputar omset. Namun Iwan memberikan gambaran tentang populasi superpremium di Jakarta. Dari 7,5 juta penduduk ibukota Jakarta, katanya, barangkali kaum superkayanya hanya 1%-nya, yaitu 750.000 orang. "Dan dari jumlah itu, kami hanya menargetkan 50% saja, sejumlah 37.500 orang," kata Iwan.

Namun dengan positioning sebagai the clothes care service, Jeeves memperlebar target marketnya bagi orang yang memang memiliki kebutuhan khusus, meski tidak termasuk golongan creme de la creme. "Kami memiliki teknologi yang memungkinkan untuk itu," kata Iwan. Dengan mesin-mesin dan detergen yang didatangkan langsung dari Jerman, Iwan mengklaim kalau Jeeves mampu meng-handle pakaian dengan tingkat kesulitan tinggi, misalnya gaun dengan payet atau kristal-kristal rancangan desainer. "Kami juga menerima segala hal yang berhubungan dengan busana, seperti bantal bulu angsa, sepatu, sampai tas," kata Iwan.

Jika pertumbuhan kaum affluent mungkin tidak sepesat yang diharapkan, maka tantangan bagi Jeeves untuk selanjutnya adalah meningkatkan awareness terhadap functional benefit dari Jeeves. "Setiap tahun kami mencoba menambah database customer, karena masih banyak orang yang membutuhkan perawatan rumit yang tidak bisa didapatkan di tempat lain," kata Iwan. Jeeves sebenarnya bisa berada di Indonesia karena alasan fungsional ini. "Pada tahun 1996, pendiri Jeeves, Marcus Taslim, merasa kesulitan untuk mencari laundry yang proper—ada laundry yang airnya kekuningan karena tidak difilter, sampai kemudian beliau memutuskan menjadi franchisee Jeeves yang berpusat di London," jelas Iwan.

Belum dua tahun menjejakkan kakinya, krisis menghantam, tapi Jeeves justru dapat berdiri kuat. "Bagi customer kami, uang bukan masalah, yang penting adalah service dan kualitas," kata Iwan. Uniknya, setiap customer Jeeves harus siap ditagih dengan berapapun tagihan yang akan dibebankan padanya. "Staf Jeeves akan menentukan tarif berdasarkan merek, kerumitan, dan bahan," jelas Iwan. Oleh karena itulah, meski sama-sama t-shirt, tarif antarcustomernya akan berbeda—tarif mulai Rp 50.000. Staf Jeeves, kata Iwan, telah terbiasa untuk menentukan tingkat kerumitan pencucian berdasarkan skala yang telah ditentukan.

Akuisisi customer baru didapatkan Jeeves dengan cara bekerja sama dengan beberapa partner seperti bank, majalah, desainer dan butik-butik tertentu. "Kami juga bekerja sama dengan penerbit kartu kredit platinum, di mana pada waktu-waktu tertentu mereka akan mendapatkan penawaran membership dari Jeeves," cerita Iwan. Selain itu, Jeeves juga kerap kali menjadi partner bagi desainer untuk mencuci baju yang di-fashionshow-kan. "Pada saat event pergelaran busana itu, kami juga membuka booth," tambah Iwan.

Sampai saat ini, tercatat 1.520 orang sudah menjadi member Jeeves. "Sebanyak 70% dari mereka termasuk member aktif," kata Iwan. Dengan jumlah ini, sebetulnya masih banyak ruang untuk meningkatkan pangsa pasar Jeeves. "Karena itulah, kami masih terus gencar beriklan di beberapa media seperti majalah Registry, Elle, Cospomolitan dan High End," kata Iwan. Namun dengan alasan pertimbangan image dan awareness, Jeeves tidak melirik koran—sejauh ini dalam setahun, Jeeves bisa muncul di 8-9 majalah. "Beriklan di majalah tetap perlu untuk menyebarkan awareness," tegas Iwan.

Dengan kombinasi BTL dan ATL, Jeeves mampu berkembang pesat, bahkan akan membuka tiga outlet sampai tahun berikutnya. Salah satu kuncinya adalah pada sensitivitas menghadapi trend—inilah yang membuat strategi penetrasinya kerap berubah-ubah laksana bunglon. Pada awal pendiriannya, Jeeves menggunakan konsep experiential marketing. "Saat itu, orang bisa langsung mundur begitu tahu tarif Jeeves—jadi sangat penting agar mereka bisa trial terlebih dahulu," kenang Iwan. Saat itu memang masa-masa yang tidak mudah bagi Jeeves—bagaimana memperkenalkan perbedaan Jeeves dengan laundry lain.

Jeeves lalu memasuki periode matang pada tahun-tahun berikutnya. Namun, antisipasi terhadap periode jenuh, dilakukan dengan me-rebranding Jeeves. "Ini dilakukan pada tahun ke-10," kata Iwan. Pada tahun ini, strateginya adalah functional benefit. "Kami ingin menunjukkan bahwa Jeeves bisa mencuci apa saja, termasuk tas, dan sepatu, serta bisa delivery," kata Iwan.

Benang merah dari semua stratagi ini, lanjut Iwan, adalah mempertahankan kualitas dan pelayanan. "Tetap akan ada 7 pasang mata yang akan menilai kualitas cucian Jeeves, dan kami akan tetap setia dengan teknologi Jerman," kata Iwan. Tema-tema ini, jelas Iwan, diambil dengan mempertimbangkan arah perusahaan, visi misi managemen, dan perkembangan trend yang sedang terjadi.

Iwan membagi strategi yang akan dicanangkannya untuk tahun 2010, yaitu "edukasi"--dalam rangka meningkatkan usage Jevees. "Kami akan membagi ilmu pada customer kami, tentang bagaimana cara menyimpan tas yang baik, sampai cara mencegah sepatu atau tidak berjamur," jelas Iwan. Tahun depan, katanya lagi, Jeeves akan merancang suatu sistem untuk mempertahankan kepuasan konsumen melalui CRM (customer relationship management). "Intinya kami akan melayani mereka dengan lebih baik dan lebih intim, dengan dukungan record data yang baik," pungkas Iwan.

Beberapa aspek yang bisa membantu Anda memahami affluent market dengan lebih baik (brandchannel.com)

  1. Affluent customers ingin dibedakan dari kebanyakan pelanggan (crowd): mereka hanya ingin dilihat di tempat tertentu, hanya menggunakan brand tertentu. mereka juga ingin selangkah lebih maju dibandingkan orang kebanyakan dan menggunakan brand untuk mengidentifikasi tren. Mereka memerlukan akses untuk membeli produk lebih dulu dibandingkan yang lain. Fashion show menjadi arena yang menggoda bagi para pemilik mereka untuk mendefinisikan "apa kemudian dan membantu akses customer untuk mendapatkannya."
  2. Mereka mencari ekslusivitas: eksklusivitas adalah isu paling menarik buat mereka, sehingga 'limited editions' atau 'only for select audience' bisa menjadi taktik yang digunakan untuk brand extensions. Mereka ingin akses kepada brand yang paling ekslusif dan kualitasnya terbaik. Mereka juga selalu bersemangat untuk mendapatkan yang terbaik bagi hidupnya.
  3. Mereka ingin merasa unik dan spesial: personalizasi produk dan services membantu memenuhi benefit ini. Brands perlu mengenali keinginan tersembunyi ini dan menawari mereka produk yang membantu mereka mencapainya. Di pasar luxury, service level yang tinggi diberikan. Kunci sukses untuk mendapatkan loyalitas pelanggan adalah dengan menyediakan pengalaman personal dan individual.
  4. Mereka mencari kenyamanan: pelanggan affluent menghargai waktunya seperti menghargai uang, memberikan kenyamanan adalah hal mendasar untuk sukses di pasar ini.
  5. Mereka bersedia membayar premium: mereka menginginkan kualitas terbaik, eksklusivitas, kepuasan dan layanan pelanggan yang luar biasa.
  6. High involvement buying behavior: derajat keterlibatan dengan klien perlu tinggi. Memberikan pengalaman membeli merupakan salah satu kunci.

Sumber : (http://mix.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar