
Persaingan antar operator telepon makin 'panas', sejak diberlakukannya Undang-undang Telekomunikasi No 36/1999. Lahirnya duopoli tentu dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme pasar, sehingga konsumen memperoleh layanan yang terbaik. Konsumen diberi 'hak' untuk memilih.
Namun ternyata persoalannya tidak sesederhana ini. Memang kepemilikan saham Satelindo dan IM3 di tangan Indosat, dan Telkomsel di tangan Telkom melahirkan dua kutub. Tetapi kehadiran fixed wireless access, karena lebih murah biaya investasinya dari fixed-line, serta lebih cepat pengembangannya menjadi pilihan Indosat. Fixed wireless access yang berteknologi CDMA juga diadopsi oleh Telkom-Flexi, serta esia. Maka persaingan pun semakin keras dan keberadaan Telkom-Flexi dengan tarif PSTN cukup menyulitkan operator selular berbasis GSM. Duopoli yang sebelumnya ditujukan terutama untuk fixed-line, kemudian membaur dengan telepon selular.
Yang perlu dipertimbangkan, dibalik kompetisi yang ketat ini dapat juga dilakukan kerjasama untuk membiayai teknologi yang mahal. Apalagi teknologi selular tergolong teknologi yang cepat usang seperti nasib yang menimpa NMT dan AMPS.
Di setiap industri berteknologi tinggi yang membutuhkan investasi yang besar dan teknologinya cepat usang (obsolete) banyak perusahaan yang seharusnya bersaing, sekaligus juga menjalin kerjasama. Misalnya GM dan Toyota memproduksi mobil di Freemonth, Siemens dan Philips memproduksi chip, Motorola bersama Toshiba membuat micro processor, Ford dengan Nissan, Fuji - Xerox dan masih banyak lain. Semua dilakukan dalam upaya menekan biaya dan meningkatkan efisiensi.
Hal yang sama seharusnya juga dilakukan oleh operator telepon selular di Indonesia untuk menekan investasi. Sehingga jika dilihat dari ruang lingkup nasional, banyak devisa yang seharusnya dapat dihemat. Juga agar menjaga persaingan tidak menjadi killing competition, dan investasi perusahaan yang berada di luar kedua pemain raksasa masih dapat bertahan hidup agar investasi yang terlanjur dibenamkan tidak sia-sia. Jika perlu pemerintah membuat aturan mengenai hal ini.
Tapi harus diingat aliansi tidak selalu berjalan mulus dan sesungguhnya menyimpan bara konflik. Yoshino dan Rangan membaginya dalam suatu matriks berdasarkan dua hal, potensi konflik dan derajat interaksi, dan kemudian membaginya menjadi empat jenis aliansi strategis, yaitu aliansi prokompetitif, aliansi nonkompetitif, aliansi kompetitif dan aliansi prekompetitif.
Aliansi antar operator telepon dapat digolongkan sebagai aliansi kompetitif karena dilakukan antar perusahaan yang dapat merupakan pesaing langsung. Sehingga potensi konfliknya menjadi tinggi, menyertai derajat interaksi yang tinggi pula. Orientasi utama terutama pada fleksibilitas strategi, learning dan proteksi core competencies.
Dalam manajemen aliansi startegis dibutuhkan persiapan yang berkaitan dengan dasar-dasar aliansi, persiapan sumber daya manusia serta sistem pengamanan. Berkaitan dengan dasar aliansi perlu dijelaskan tujuan, bentuk dan kerangka waktu. Juga perlu diperjelas mengenai posisi, tanggung jawab, dan tugas anggota aliansi. Perlu juga dirumuskan pedoman pelaksanaan, kebutuhan dan alokasi sumber daya serta koordinator antar fungsi.
Selain itu persiapan mental SDM juga harus mendapat perhatian, karena perbedaan norma perusahaan dapat mencuatkan potensi konflik yang telah ada. Misalnya kejelasan tujuan, distribusi informasi, dan penyesuaian sistem manajemen SDM.
Kemudian "sistem pengamanan" seperti sistem monitor dan evaluasi kemajuan juga harus mendapat perhatian agar aliansi dapat berjalan sesuai dengan harapan. Harus ada sistem monitor dan evaluasi kemajuan, kejelasan dari sisi hukum, penyesuaian atmosfer kerja dan sensitifitas budaya.
Manajamen aliansi mempunyai berbagai tantangan karena mempertemukan dua struktur, strategi dan kultur yang berbeda. Ambiguitas yang disebabkan ketidakjelasan harapan masing-masing pihak, ketidakseimbangan prioritas antara dimensi koperasi dan kompetisi, serta kurangnya sensitifitas dalam membaca keragaman budaya dapat menjadi kendala yang serius.
Kesulitan yang dapat menimbulkan kendala juga ditimbulkan oleh kesulitan dalam menemukan titik optimal antara dimensi kompetisi dan dimensi kooperasi dalam aliansi. Hal ini makin runyam jika terjadi kekurangpekaan dalam membaca perkembangan kondisi aliansi dan keragaman budaya.
The tyranny of details juga dapat menjadi hambatan ketika saluran komunikasi kurang efektif karena salah satu pihak menutup alur informasi. Hambatan lain adalah munculnya peningkatan kompleksitas pengelolaan hubungan antara strategi, struktur, sistem, dan SDM. Dapat pula timbul interface trap berupa kelemahan dan ketidakharmonisan hubungan antara SDM di ujung tombak aliansi. Masalah network juga dapat menjadi penghalang ketika terjadi kesulitan menyelaraskan network internal dan eksternal.
Lantas tugas apa yang harus dilakukan oleh eksekutif kunci? Eksekutif kunci terutama harus meningkatkan kualitas proses komunikasi dan distribusi informasi. Dari komunikasi dan pola manajemen informasi yang terarah, dapat dibentuk right chemistry, yaitu atmosfir kerja yang didasari oleh adanya keterbukaan, saling pengertian, adaptabilitas, kesesuaian budaya dan organizational trust. Proses ini ditindaklanjuti dengan mempercepat terbentuknya internal & external relationship yang dapat menciptakan kelanggengan formulasi alliance teams. Tugas penting lain bagi eksekutif kunci adalah menajadi "agen" aliansi, yang bertindak sebagai penyelaras keragaman budaya, insiator implementasi strategi aliansi, serta pengamanan citra dan tingkat trustworthiness perusahaan dalam proses aliansi.
Sumber : A.B Susanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar