Jumat, 04 September 2009

LEADERSHIP dan PEMBERDAYAAN KARYAWAN

Sesungguhnya hakekat leadership adalah memberdayakan sumber daya (khususnya SDM) perusahaan dengan memperbaiki sistem melalui proses penetapan arah, penyelarasan, pengintegrasian, pemberdayaan dan keteladanan pemimpin.

Organisasi perusahaan dapat diilustrasikan sebagai makluk hidup yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Ada perusahaan yang berhasil melewati masa sulit dan terus eksis sebagai dominan player, ada pula yang hanya mampu bertahan sesaat dan akhirnya ditutup karena bangkrut. Banyak faktor yang berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan perusahaan misalnya intensitas persaingan, kondisi ekonomi, teknologi, pasar dan tentu saja proses bisnis internalnya. Variabel terakhir coraknya sangat bergantung pada people di dalam perusahaan, karena merekalah yang mendesain, mengimplementasikan dan mengendalikannya.

Bicara tentang human capital (people) dalam perusahaan akan membawa kita berhadapan dengan strata karyawan. Diantara mereka ada yang berperan sebagai top leader, manager dan pelaksana atau staf. Dalam perusahaan, top leader menyerupai pilot pada sebuah pesawat terbang, dialah yang menetukan arah / jalur dan tujuan perjalanan. Jika sang pilot profesional di bidangnya dan mematuhi aturan / ketentuan penerbangan yang berlaku, maka pesawat dapat mendarat dengan mulus di bandara tujuan, namun bila sebaliknya akan membahayakan keselamatan pesawat beserta penumpangnya maupun mesyarakat sekitar jalur yang dilewatinya.

Tugas atau tanggung jawab CEO (top leader) pada perusahaan tidak persis sama dengan ilustrasi di atas, walaupun ada hal-hal tertentu yang identik. Aspek penting yang harus melekat dalam diri seorang CEO adalah kemampuan kepemimpinan (His Own Leadership Capability). Atribut kepemimpinan ini memiliki beberapa elemen yang perlu dipraktekkan untuk men-drive perusahaan mencapai tujuannya. Elemen-elemen kepemimpinan dimaksud meliputi :

  1. Pathfinding

    Tugas pertama seorang pemimpin (CEO) adalah harus men-setup arah perusahaan dengan menetapkan Visi, misi dan blue print serta nilai-nilai inti (core values) perusahaan. Visi menjelaskan tentang "what is the organization will trying to do and to become", sedangkan misi menerangkan tentang "How the Organization doing their business". Blue print merupakan susunan skenario perusahaan untuk mewujudkan visi dan misi, isinya dapat meliputi jadwal dan urutan proses kegiatan, biaya, target dan tolak ukur output serta penanggung jawabnya. Nilai-nilai inti adalah tatakrama, sikap, sifat, karakter dan komitmen yang harus tertanam dalam diri setiap karyawan. Bila nilai-nilai tersebut terpelihara dan langgeng, maka akan menjadi budaya perusahaan.

    Pathfinding hanyalah langkah awal, selanjutnya sang CEO haruslah memastikan bahwa visi, misi, blue print dan nilai-nilai inti perusahaan telah dipahami, dimengerti dan dilaksanakan oleh seluruh tingkatan dan karyawan. Kedalaman implementasi (deployment) variabel-variabel tersebut tergantung sejauh mana semua lini perusahaan mampu menjabarkannya dalam kegiatan operasional. Untuk itu CEO perlu mengkondisikannya menjadi suatu kebiasaan yang melekat (inherent) dalam diri masing-masing karyawan.

  2. Aligning

    Perusahaan biasanya mempunyai sejumlah karyawan dengan etnis, bahasa, agama. Latar belakang pendidikan dan karakter yang berbeda-beda. Keragaman ini dapat menjadi sumber dan potensi keunikan (distinctive competence) perusahaan dalam proses penciptaan value pelanggan, tetapi dapat pula menjadi akar permasalahan yang membawa petaka kehancuran akibat gesekan antara karyawan yang beragam tadi.

    Fakta keragaman tersebut memerlukan proses penyelarasan (aligning) yang sistematis untuk menjamin bahwa potensi itu senantiasa terkontrol dan berdampak positif terhadap bisnis proses internal perusahaan. Bila bisnis proses internalnya berlangsung secara dinamis dan sinergis, maka dapat dipastikan bahwa kreasi nilai dan value delivery ke pelanggan akan menggelinding bagai bola salju yang semakin membesar. Momentum ini akan mampu menambah kepuasan dan loyalitas pelanggan.

  3. Integrating

    Semua perusahaan pasti memiliki dan mengelola sumber yang tampak (tangibles) berupa gedung, mesin produksi, tanah, SDM dan lain-lain. Begitu pula terdapat asset yang tidak nampak (intangibles) seperti paten, merek (trade mark), teknologi, jaringan bisnis dan goodwill. Kedua jenis asset ini perlu dikelola (well managed) dengan baik agar mampu berperan secara optimal dan efektif dalam proses produksi, distribusi dan pelayanan purna jual kepada pelanggan. Inilah tugas ketiga sang pemimpin, yakni mengintegrasikan (integrating) semua sumber daya perusahaan pada setiap lini bisnis dan rantai nilainya (value chain) sehingga dapat mendongkrak manfaat yang diperoleh pelanggan ketika maupun setelah mengkonsumsi produk perusahaan.

  4. Empowering

    Tugas keempat yang harus diemban oleh CEO adalah memastikan bahwa setiap karyawan perusahaan telah dan akan senantiasa mencurahkan seluruh kemampuan terbaiknya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang di bebankan kepadanya. Agar proses pemberdayaan (empowering) ini berjalan sesuai tujuan perusahaan, maka CEO perlu menata faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu :

    1. Goodwill

      Karyawan hanya akan berdaya jika semua kebijakan (goodwill / policy) perusahaan mulai dari visi hingga petunjuk operasional sehari-hari mendukung dan memungkinkan mereka berdaya. CEO harus menghindari munculnya aturan yang bertentangan satu sama lain, menimbulkan demotivasi, kontra produksi, perlakuan tidak adil (unfair treatment), penilaian subjektif dan hal sejenis lainnya. Pastikan bahwa semua kebijakan perusahaan benar-benar bijak, bukan sebaliknya.

    2. kompetensi

      Berkaitan dengan conceptual skill, human skill dan technical skill serta pengalaman yang dimiliki seorang karyawan. Ada karyawan karena motivasinya tinggi selalu belajar secara otodidak sehingga kapabilitasnya selalu sejalan dengan tuntunan pekerjaanya. Tetapi ada juga karyawan yang mau belajar jika menemukan kendala, celakanya ada karyawan yang masa bodoh dan tidak mau belajar sekalipun dalam program pelatihan.

      Karyawan dapat berdaya jika didukung kompetensi yang memadai, sedangkan proses peningkatan kompetensi karyawan membutuhkan waktu yang lama dan dana yang relatif besar. Jalan tengah yang dapat ditempuh perusahaan untuk memperbaiki kompetensi karyawannya adalah membiasakan mereka untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman melalui Built In Training (BIT), Forum Group discussion (FGD), coaching, apresiasi inovasi, dan diskusi via mailing list.

    3. Infrastruktur

      Sarana dan prasarana perusahaan menentukan proses dan tingkat produktifitas karyawan, meskipun mereka memiliki skill yang tinggi namun jika tidak didukung oleh infrastruktur kerja yang memadai, maka outputnya sulit diharapkan mencapai optimal.

      Untuk mendorong proses pemberdayaan karyawan, CEO wajib memastikan bahwa seluruh infrastruktur perusahaan tersedia dalam jumlah cukup dan layak pakai serta tidak ketinggalan teknologinya (up to date).

    4. lingkungan.

      Faktor lingkungan sekalipun tidak dominan menentukan proses pemberdayaan, namun merupakan elemen stimulasi bagi lahirnya iklim kerja yang berdaya. Perusahaan dengan lingkungan kerja yang kondusif, dinamis dan adaptif terhadap perubahan-perubahan kondisi eksternal akan mudah menyesuaikan diri dengan situasi persaingan. Bila kompetisi industri dimana perusahaan berada langsung ketat, maka iklim kompetitif tersebut akan berimbas ke proses bisnis internal perusahaan itu sendiri. Imbas tadi akan mempengaruhi dan memacu kepekaan karyawan untuk melakukan improvement terhadap totalitas bisnis proses perusahaan. Improvement yang berlangsung secara berjenjang dan kontinyu akan mendorong munculnya berbagai inovasi yang semakin memperkaya nilai produk dan tentu saja menambah nilai manfaat yang diterima oleh pelanggan.

      Pada perusahaan dengan budaya inovasi yang tinggi akan merangsang seluruh karyawan untuk terus belajar (learning by doing), belajar dari bisnis proses yang lalu, eksisting maupun yang akan datang. Semakin banyak karyawan yang mau belajar dengan suka rela seperti ini semakin terbuka peluang lahirnya budaya belajar dalam lingkungan perusahaan (learning organization)

  5. Modeling

    Model adalah objek yang berperan merepresentasikan sesuatu, dapat berupa benda hidup maupun benda mati. Bagi foto model, mereka berperan sebagai objek yang memeragakan busana dengan bentuk dan corak tertentu. Sedangkan tukang jahit mengenal model dengan istilah patron, mereka menjahit pakaian sesuai patron dan ukuran yang sudah ditentukan oleh pemilik pakaian.

    Modeling merupakan peran yang harus dilakoni oleh seorang pemimpin ditengah-tengah karyawan yang dipimpinnya. Sebagai model, dia adalah public figure dengan setumpuk nilai yang patut dicontoh atau diteladani oleh karyawannya. Agar keteladanan itu eksis dan hidup dalam diri karyaan maka pemimpin yang bersangkutan harus menjaga komitmennya dan menjalankan komitmen-komitmen secara konsisten.

    Pemimpin perusahaan wajib bertindak sebagai role model bagi karyawan yang dipimpin dengan memelihara komitmen, etika, konsistensi, dan nilai-nilai keteladanan yang mereka miliki. Disinilah letak tugas kelima sang pemimpin yang sering terlupakan dewasa ini, sehingga acapkali menimbulkan kontroversi ketimbang manfaat di kalangan karyawan.

1 komentar: