
Dalam cerah langit ekonomi 2010, terselip “uncertainty”
sebagai sebuah normalitas baru. Butuh kejelian dan eksekusi marketing yang jitu pada setiap signal perubahan dipasar, Kejujuran dan transparansi menjadi daya saing baru dan langka
dalam era marketing 3.0.
sebagai sebuah normalitas baru. Butuh kejelian dan eksekusi marketing yang jitu pada setiap signal perubahan dipasar, Kejujuran dan transparansi menjadi daya saing baru dan langka
dalam era marketing 3.0.
Menjelang tutup tahun 2009, sinyal pemulihan ekonomi global berangsur-angsur menguat. Indikasi perbaikan yang paling tampak terjadi di negara-negara emerging market Asia, khususnya China dan India. Sementara sejumlah negara maju juga menunjukkan perbaikan yang memadai sehingga proyeksi ekonomi tahun 2010 bergerak kearah positif. Jika selama 2009 ekonomi dunia diprediksi tumbuh negatif 1,1% maka di 2010 angkanya cenderung optimis diposisi 3,1% (data IMF, Oktober 2009). Indonesia sendiri sekalipun turut merasakan guncangan krisis ekonomi dunia, namun tetap mampu survive dengan kisaran pertumbuhan 4,3% dan inflasi sekitar 3%. Memasuki tahun 2010, semua pihak sepakat bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih baik dengan angka 5,4% hingga 5,9% dan laju inflasi 4,5% sampai 5,5%. Sektor transportasi, telekomunikasi dan utilitas dipercaya menyumbang kontribusi dua digit. Sedangkan sektor keuangan, jasa, perdagangan dan konstruksi tumbuh lebih dari 5% namun tetap satu digit. Sementara itu sektor-sektor lainnya seperti pertambangan, manufaktur dan pertanian juga mengalami growth positif dengan laju kurang dari 5%. Perbaikan ekonomi dalam skala nasional tentu merupakan agregat dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi di daerah baik pada level kabupaten dan kotamadya maupun provinsi. Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu kontributor pertumbuhan ekonomi di daerah tahun 2009 mampu mencatat growth pada kisaran 7%. Karena itu cukup logis jika asumsi pertumbuhannya di 2010 di setting pada angka 7,5% sampai 8%.
Untuk mendukung dan menguatkan keyakinan kita terhadap indikator makro tersebut dan cerahnya iklim usaha ditahun 2010, coba kita simak temuan survey Markplus Insight yang dilaksanakan bulan Juli dan November 2009. Dalam laporannya disebutkan bahwa 76,8% responden setuju bahwa kondisi ekonomi 2010 lebih baik dari 2009, 3% sangat baik, 14,9% menyatakan kondisinya sama saja dan hanya 1,8% menganggapnya lebih buruk. Survey juga dilakukan untuk mengidentifikasi daya beli konsumen 2010, hasilnya adalah 9,1% berpendapat sangat tinggi, 60% tinggi, 21,8% biasa saja, 7,3% rendah dan 1,2% rendah sekali. Temuan survey yang lain adalah mayoritas pelaku usaha (marketer) sepakat untuk meningkatkan aktifitas marketing-nya dalam enam bulan kedepan baik yang terkait dengan penjualan, biaya pemasaran, intensitas promosi maupun proses distribusi produk. Bidang-bidang usaha yang dipandang prosfektif dan memiliki tren pertumbuhan yang tinggi sepanjang 2010 adalah telekomunikasi, consumer goods, property, otomotif dan retail.
Secara makro maupun mikro situasi bisnis cukup kondusif (the sky looks brighter) sehingga dapat menjadi bekal dan pijakan awal bagi setiap pelaku usaha dalam menyusun action plan tahun 2010. Action plan ini dapat berupa dokumen umum seperti rencana kerja dan anggaran (RKA) ataupun file khusus sejenis cetak biru pemasaran (marketing plan). Ada atau tidaknya marketing plan yang komprehensif bukanlah sebuah masalah yang patut diperdebatkan karena bagaimanapun juga unit yang bertanggung jawab terhadap pemasaran pasti telah memiliki rencana. Substansi yang urgent dan perlu menjadi fokus perhatian adalah sejauh mana orang-orang marketing dalam perusahaan mampu menangkap dinamika setiap signal perubahan yang terjadi di pasar dan meresponnya secara cepat dan akurat. Salah membaca signal dan reaksi yang lambat serta solusi yang tidak tepat adalah bumerang bagi perusahaan manapun dan pasti berimplikasi terhadap sustainability-nya.
Mengingat bahwa perang yang sesungguhnya terjadi di sekitar kita sehari-hari adalah perang pemasaran, maka siapapun Anda dan apapun jenis bisnis yang digeluti sangat perlu untuk memahami tren pemasaran yang tengah berlangsung dan bakal terjadi di tahun 2010. Pemasaran sebagai sebuah disiplin ilmu mengalami transformasi menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat mengenal zaman, begitu pula dengan marketing. Dahulu orang membeli barang (produk / jasa) berdasarkan azas manfaat (rational benefit), pertimbangan utamanya adalah harga dan kualitas. Zaman (orde) ini dinamakan sebagai era rational marketing atau orde marketing 1.0. Seiring perjalanan waktu dan perubahan life style konsumen, maka mereka beranggapan bahwa harga dan kualitas sudah bersifat given dan merupakan entitas yang mutlak melekat pada produk / jasa. Atribut yang menjadi fokus perhatian adalah kemampuan produk dalam meningkatkan citra dan harga diri, memenangkan hati dan ego konsumen. Ini adalah eranya emotional marketing atau orde marketing 2.0. Timbulnya beragam krisis ekonomi dan kemajuan teknologi khususnya telekomunikasi memicu kesadaran baru bagi masyarakat dunia akan pentingnya arti kejujuran dan transparansi. Kejujuran dan tranparansi adalah resource yang langka dan mampu menjadi daya saing perusahaan dalam jangka panjang dan sulit ditiru. Kejujuran inilah yang menjadi spirit lahirnya orde baru marketing, yaitu spiritual marketing (human-spirit marketing) atau marketing 3.0.
Legacy Marketing, era pemasaran rasional (marketing 1.0) dan emosional (marketing 2.0) dapat disebut sebagai pemasaran orde lama (legacy marketing). Perselisihan antara RS Omni dan Prita Mulyasari adalah contoh yang gamblang tentang praktek legacy marketing. Dalam konteks ini aktifitas pemasaran bersifat vertikal, birokrat, satu arah, produsen adalah subjek dan konsumen diperlakukan sebagai objek pemasaran. Instrumen utamanya adalah marketing mix (product, price, promotion & place) dan hanya sedikit perusahaan yang memanfaatkan unsur strategi (Segmentasi, targeting & positioning) dan Value (Branding, Process & Service) pemasaran. Produk kategori komoditi seperti sembako, hasil pertanian, perkebunan, perikanan, sebagian FMCG dan barang / jasa sejenis lainnya yang tidak mengandalkan merek (brand) masih relevan menggunakan pola marketing 1.0. Fokusnya adalah bagaimana menjaga kesesuaian antara harga, kualitas, kemasan dan pasokan sehingga konsumen memperoleh manfaat yang sebanding dengan nominal uang yang harus mereka bayar. Produk otomotif, properti, elektronik, tekstil dan branded goods lainnya dapat tetap memanfaatkan era marketing 2.0 dengan lebih menekankan eksplorasi aspek strategi dan value marketing serta memulai penjajakan untuk memasuki orde marketing 3.0.
New Wave Marketing, orde baru pemasaran (new wave marketing) atau marketing 3.0 bukan berarti era pendahulunya sama sekali ditinggalkan dan tidak berlaku lagi. Marketing 3.0 justru merupakan penyempurnaan dari era sebelumnya, sehingga khazanah marketing lebih kaya, lengkap dan mampu memanusiakan konsumen. Produsen dan konsumen berada dalam posisi yang setara, memiliki saling ketergantungan, komunikasi berlangsung dua arah sehingga dapat terbangun kemitraan dan hubungan yang bersifat horizontal. Masing-masing pihak (penjual dan pembeli) mempunyai akses terhadap informasi yang berimbang sehingga dapat terjalin negosiasi yang fair, jujur dan transparan serta win-win solution. Kemajuan teknologi wireless mobile dan internet merupakan driver utama lahirnya konsep marketing 3.0. Eksistensi telepon seluler membuat sebagian besar orang dapat terhubung (connect) dengan siapapun, kapan dan dimanapun mereka berada. Fenomena mobile and connect menjadi lebih bergairah dengan berkembangnya internet web 2.0 dan memicu munculnya social media seperti Facebook, MySpace, Twitter, Kaskus dan sejenisnya. Ciri konsumen Indonesia adalah senang berkumpul dan curhat (sharing). Gemar ngumpul dan curhat ini menjadi gayung bersambut melalui media sosial dan piranti mobile. Dulu konsumen ngumpul di arisan, pengajian, pesta / hajatan, organisasi sosial / profesi dan lain-lain. Sekarang, tempat ngumpulnya migrasi ke dunia maya Facebook, Twitter, Kaskus dan sebagainya. Disana mereka membangun koloni dalam bentuk grup-grup komunitas (community) sesuai interest, hobby, icon, issue dan seterusnya. Kedahsyatan online community terlihat jelas dalam kasus Cicak vs Buaya dan Koin Prita, mereka sanggup memobilisasi opini, dukungan, sumber daya dan massa dalam waktu yang sangat singkat. Fakta ini membuktikan bahwa era marketing 3.0 sudah tiba dan mengharuskan para marketer untuk memahami dan menggelutinya. Keywords marketing 3.0 adalah mobile and always connect, mampu melebur dalam offline dan online communities dan perusahaan mempunyai flatform yang bisa mengakomodasi proses komunitisasi konsumen. Karakter Marketer 3.0 adalah mobile (gaul) sehingga mampu merekatkan diri dengan all stakeholders-nya (konsumen, supplier, regulator, asosiasi, kompetitor, YLK / LSM) melalui community offline dan online.
UMKM dan Pasar Bebas 2010, Meskipun awan cerah bakal menyertai ekonomi tahun 2010 namun bukan berarti jalannya bebas hambatan. Benar bahwa “the sky looks brighter” tetapi dibaliknya terselip ketidakpastian, “uncertainty is the new normality”. Kasus Bank Century sejauh ini keliatannya masih normal dan terkendali, namun didalamnya tertanam benih goncangan politik jika dana bailout terbukti mengalir ke partai tertentu. Berikutnya implementasi kesepakatan pasar bebas intra Asean (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Brunei Darussalam) dan Asean dengan China tanggal 1 Januari 2010 berpotensi merontokkan daya saing industri dalam negeri terutama UMKM. Hal substansial lainnya dan perlu mendapat atensi dari korporasi adalah isu-isu yang terkait dengan lingkungan dan bencana alam. Patut disadari bahwa pasar memiliki dinamika dan kompleksitas yang tinggi, pemicu ketidakpastian dan krisis bukan variabel normatif semisal regulasi dan supply-demand, melainkan faktor ekspektasi, asumsi-asumsi, spekulasi para pelaku pasar dan intervensi penguasa.
Potret ekonomi, temuan survey Markplus Insight,konsep dan analisis marketing sebagaimana diuraikan di atas merupakan pra kondisi yang baik bagi dunia usaha dalam menyongsong dan memasuki tahun 2010. Mari satukan tekad, spirit dan optimisme yang tinggi dalam menjalankan putaran roda ekonomi bangsa secara optimal sekecil apapun peran yang dilakoni untuk Indonesia yang lebih maju dan kompetitif dalam kancah pasar global.
Untuk mendukung dan menguatkan keyakinan kita terhadap indikator makro tersebut dan cerahnya iklim usaha ditahun 2010, coba kita simak temuan survey Markplus Insight yang dilaksanakan bulan Juli dan November 2009. Dalam laporannya disebutkan bahwa 76,8% responden setuju bahwa kondisi ekonomi 2010 lebih baik dari 2009, 3% sangat baik, 14,9% menyatakan kondisinya sama saja dan hanya 1,8% menganggapnya lebih buruk. Survey juga dilakukan untuk mengidentifikasi daya beli konsumen 2010, hasilnya adalah 9,1% berpendapat sangat tinggi, 60% tinggi, 21,8% biasa saja, 7,3% rendah dan 1,2% rendah sekali. Temuan survey yang lain adalah mayoritas pelaku usaha (marketer) sepakat untuk meningkatkan aktifitas marketing-nya dalam enam bulan kedepan baik yang terkait dengan penjualan, biaya pemasaran, intensitas promosi maupun proses distribusi produk. Bidang-bidang usaha yang dipandang prosfektif dan memiliki tren pertumbuhan yang tinggi sepanjang 2010 adalah telekomunikasi, consumer goods, property, otomotif dan retail.
Secara makro maupun mikro situasi bisnis cukup kondusif (the sky looks brighter) sehingga dapat menjadi bekal dan pijakan awal bagi setiap pelaku usaha dalam menyusun action plan tahun 2010. Action plan ini dapat berupa dokumen umum seperti rencana kerja dan anggaran (RKA) ataupun file khusus sejenis cetak biru pemasaran (marketing plan). Ada atau tidaknya marketing plan yang komprehensif bukanlah sebuah masalah yang patut diperdebatkan karena bagaimanapun juga unit yang bertanggung jawab terhadap pemasaran pasti telah memiliki rencana. Substansi yang urgent dan perlu menjadi fokus perhatian adalah sejauh mana orang-orang marketing dalam perusahaan mampu menangkap dinamika setiap signal perubahan yang terjadi di pasar dan meresponnya secara cepat dan akurat. Salah membaca signal dan reaksi yang lambat serta solusi yang tidak tepat adalah bumerang bagi perusahaan manapun dan pasti berimplikasi terhadap sustainability-nya.
Mengingat bahwa perang yang sesungguhnya terjadi di sekitar kita sehari-hari adalah perang pemasaran, maka siapapun Anda dan apapun jenis bisnis yang digeluti sangat perlu untuk memahami tren pemasaran yang tengah berlangsung dan bakal terjadi di tahun 2010. Pemasaran sebagai sebuah disiplin ilmu mengalami transformasi menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat mengenal zaman, begitu pula dengan marketing. Dahulu orang membeli barang (produk / jasa) berdasarkan azas manfaat (rational benefit), pertimbangan utamanya adalah harga dan kualitas. Zaman (orde) ini dinamakan sebagai era rational marketing atau orde marketing 1.0. Seiring perjalanan waktu dan perubahan life style konsumen, maka mereka beranggapan bahwa harga dan kualitas sudah bersifat given dan merupakan entitas yang mutlak melekat pada produk / jasa. Atribut yang menjadi fokus perhatian adalah kemampuan produk dalam meningkatkan citra dan harga diri, memenangkan hati dan ego konsumen. Ini adalah eranya emotional marketing atau orde marketing 2.0. Timbulnya beragam krisis ekonomi dan kemajuan teknologi khususnya telekomunikasi memicu kesadaran baru bagi masyarakat dunia akan pentingnya arti kejujuran dan transparansi. Kejujuran dan tranparansi adalah resource yang langka dan mampu menjadi daya saing perusahaan dalam jangka panjang dan sulit ditiru. Kejujuran inilah yang menjadi spirit lahirnya orde baru marketing, yaitu spiritual marketing (human-spirit marketing) atau marketing 3.0.
Legacy Marketing, era pemasaran rasional (marketing 1.0) dan emosional (marketing 2.0) dapat disebut sebagai pemasaran orde lama (legacy marketing). Perselisihan antara RS Omni dan Prita Mulyasari adalah contoh yang gamblang tentang praktek legacy marketing. Dalam konteks ini aktifitas pemasaran bersifat vertikal, birokrat, satu arah, produsen adalah subjek dan konsumen diperlakukan sebagai objek pemasaran. Instrumen utamanya adalah marketing mix (product, price, promotion & place) dan hanya sedikit perusahaan yang memanfaatkan unsur strategi (Segmentasi, targeting & positioning) dan Value (Branding, Process & Service) pemasaran. Produk kategori komoditi seperti sembako, hasil pertanian, perkebunan, perikanan, sebagian FMCG dan barang / jasa sejenis lainnya yang tidak mengandalkan merek (brand) masih relevan menggunakan pola marketing 1.0. Fokusnya adalah bagaimana menjaga kesesuaian antara harga, kualitas, kemasan dan pasokan sehingga konsumen memperoleh manfaat yang sebanding dengan nominal uang yang harus mereka bayar. Produk otomotif, properti, elektronik, tekstil dan branded goods lainnya dapat tetap memanfaatkan era marketing 2.0 dengan lebih menekankan eksplorasi aspek strategi dan value marketing serta memulai penjajakan untuk memasuki orde marketing 3.0.
New Wave Marketing, orde baru pemasaran (new wave marketing) atau marketing 3.0 bukan berarti era pendahulunya sama sekali ditinggalkan dan tidak berlaku lagi. Marketing 3.0 justru merupakan penyempurnaan dari era sebelumnya, sehingga khazanah marketing lebih kaya, lengkap dan mampu memanusiakan konsumen. Produsen dan konsumen berada dalam posisi yang setara, memiliki saling ketergantungan, komunikasi berlangsung dua arah sehingga dapat terbangun kemitraan dan hubungan yang bersifat horizontal. Masing-masing pihak (penjual dan pembeli) mempunyai akses terhadap informasi yang berimbang sehingga dapat terjalin negosiasi yang fair, jujur dan transparan serta win-win solution. Kemajuan teknologi wireless mobile dan internet merupakan driver utama lahirnya konsep marketing 3.0. Eksistensi telepon seluler membuat sebagian besar orang dapat terhubung (connect) dengan siapapun, kapan dan dimanapun mereka berada. Fenomena mobile and connect menjadi lebih bergairah dengan berkembangnya internet web 2.0 dan memicu munculnya social media seperti Facebook, MySpace, Twitter, Kaskus dan sejenisnya. Ciri konsumen Indonesia adalah senang berkumpul dan curhat (sharing). Gemar ngumpul dan curhat ini menjadi gayung bersambut melalui media sosial dan piranti mobile. Dulu konsumen ngumpul di arisan, pengajian, pesta / hajatan, organisasi sosial / profesi dan lain-lain. Sekarang, tempat ngumpulnya migrasi ke dunia maya Facebook, Twitter, Kaskus dan sebagainya. Disana mereka membangun koloni dalam bentuk grup-grup komunitas (community) sesuai interest, hobby, icon, issue dan seterusnya. Kedahsyatan online community terlihat jelas dalam kasus Cicak vs Buaya dan Koin Prita, mereka sanggup memobilisasi opini, dukungan, sumber daya dan massa dalam waktu yang sangat singkat. Fakta ini membuktikan bahwa era marketing 3.0 sudah tiba dan mengharuskan para marketer untuk memahami dan menggelutinya. Keywords marketing 3.0 adalah mobile and always connect, mampu melebur dalam offline dan online communities dan perusahaan mempunyai flatform yang bisa mengakomodasi proses komunitisasi konsumen. Karakter Marketer 3.0 adalah mobile (gaul) sehingga mampu merekatkan diri dengan all stakeholders-nya (konsumen, supplier, regulator, asosiasi, kompetitor, YLK / LSM) melalui community offline dan online.
UMKM dan Pasar Bebas 2010, Meskipun awan cerah bakal menyertai ekonomi tahun 2010 namun bukan berarti jalannya bebas hambatan. Benar bahwa “the sky looks brighter” tetapi dibaliknya terselip ketidakpastian, “uncertainty is the new normality”. Kasus Bank Century sejauh ini keliatannya masih normal dan terkendali, namun didalamnya tertanam benih goncangan politik jika dana bailout terbukti mengalir ke partai tertentu. Berikutnya implementasi kesepakatan pasar bebas intra Asean (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Brunei Darussalam) dan Asean dengan China tanggal 1 Januari 2010 berpotensi merontokkan daya saing industri dalam negeri terutama UMKM. Hal substansial lainnya dan perlu mendapat atensi dari korporasi adalah isu-isu yang terkait dengan lingkungan dan bencana alam. Patut disadari bahwa pasar memiliki dinamika dan kompleksitas yang tinggi, pemicu ketidakpastian dan krisis bukan variabel normatif semisal regulasi dan supply-demand, melainkan faktor ekspektasi, asumsi-asumsi, spekulasi para pelaku pasar dan intervensi penguasa.
Potret ekonomi, temuan survey Markplus Insight,konsep dan analisis marketing sebagaimana diuraikan di atas merupakan pra kondisi yang baik bagi dunia usaha dalam menyongsong dan memasuki tahun 2010. Mari satukan tekad, spirit dan optimisme yang tinggi dalam menjalankan putaran roda ekonomi bangsa secara optimal sekecil apapun peran yang dilakoni untuk Indonesia yang lebih maju dan kompetitif dalam kancah pasar global.
Good Article ...!
BalasHapus