Selasa, 04 Desember 2012

UNBUNDLING MARKETING


Pada tahun 1960 Prof. Theodore Levitt menulis artikel di Harvard Business Review dengan judul “Marketing Myopia”. Tulisan tersebut mengulas tentang cara pandang industri yang relatif sempit dan terbatas sehingga sering kali gagal mendefenisikan area bisnis yang sedang digelutinya. Sebagai ilustrusi, Levitt mengambil contoh perusahaan kereta api Amerika Serikat pada waktu itu, yakni American Express (AE). Manajemen AE menganggap bahwa kompetitor mereka adalah perusahaan sejenis, selama tidak ada perusahaan kereta api lainnya, maka AE merasa aman dari ancaman persaingan. Namun apa yang terjadi kemudian ketika muncul South West (SW), perusahaan penerbangan jarak pendek dengan kota destinasi yang sama dengan AE. SW menurunkan harga tiketnya hingga mendekati harga tiket AE dengan cara meniadakan komponen snack dan bagasi. Secara perlahan, penumpang AE beralih ke SW dan menyebabkan performansi AE anjlok beberapa waktu. Kesalahan AE adalah karena memandang dirinya sebagai perusahaan kereta api bukan pelaku bisnis transportasi dan mengabaikan sektor usaha lainnya yang bisa mensubstitusi produknya.
SW dapat menurunkan tarif dengan memisahkan komponen produk, khususnya produk inti (core product) dan produk pelengkap (complementary product). Produk utama angkutan udara adalah memindahkan orang dari satu kota ke kota lainnya, sedangkan jasa ketering dan bagasi bersifat tambahan dan hanya melengkapi. Sebagian penumpang yang terbang terkadang sudah makan atau membawa snack sendiri. Sedangkan urusan bagasi dapat diatasi dengan membawa barang secukupnya sehingga bisa dijinjing masuk pesawat dan disimpan dikabin. Sukses SW ini kemudian di benchmark oleh Ryan Air (RA), maskapai yang didirikan pada tahun 1985 dan berbasis di Irlandia mampu mengadopsi dengan baik konsep pricing yang digunakan oleh SW. RA menjual tiketnya ke penumpang dengan murah, untuk menutupi biaya operasional dan mendapatkan profit, ia memungut biaya tambahan untuk penanganan bagasi,  layanan ketering, fee pembelian tiket via kartu kredit, penumpang prioritas, perusahaan mitra yang beriklan di dalam kabin pesawat dan subsidi dari rute penerbangan premium.
Terobosan tarif yang dilakukan oleh SW dan kemudian dikembangkan oleh RA dalam konteks marketing lazim dikenal dengan sebutan unbundling marketing. Unbundling pada dasarnya adalah memisahkan produk / jasa yang umum dijual secara paket dan ditawarkan terpisah atau item per item. Kepiawaian RA dalam menyiasati pentarifan bisnis penerbangan menjadi sebuah inovasi dan menginspirasi banyak maskapai diberbagai negara, termasuk Indonesia. Lion Air (LA) yang mulai operasi tahun 2000 memasuki pasar domestik dengan menyasar segmen low cost carriers (LCC), tentu saja menggunakan pendekatan unbundling. Melalui slogan “We Make People Fly”, LA mampu menggebrak dan menggairahkan industri penerbangan tanah air. Perlahan-lahan market size angkutan udara membesar, baik karena peralihan penumpang sektor transportasi darat dan laut maupun tambahan penumpang dari masyarakat umum yang sebelumnya belum pernah mengangkasa menggunakan Garuda dan Merpati.
Gelora kompetisi operator penerbangan dalam negeri makin terasa ketika Air Asia (AA) mulai menyambangi pasar Indonesia beberapa tahun lalu. Baik LA maupun AA sama-sama menggarap pasar LCC, sedangkan incumbent Garuda cenderung memilih segmen full service carriers (FCC). Untuk menahan laju LA, AA dan operator lainnya pada segmen LCC, Garuda memilih membesarkan anak usahanya CitiLink (CL). Semarak perang dipasar LCC tentu menguntungkan masyarakat, baik karena harga tiket yang lebih terjangkau maupun karena tersedianya sejumlah opsi operator. Walaupun menawarkan tiket murah, operator LCC tidak boleh mengabaikan faktor keselamatan, kenyamanan dan ketepatan waktu penerbangan. Termasuk menjaga batas atas harga tiket agar tidak melampaui harga rata-rata FCC khususnya pada saat peak season

Tidak ada komentar:

Posting Komentar