Pada tahun 1960 Prof. Theodore
Levitt menulis artikel di Harvard Business Review dengan judul “Marketing
Myopia”. Tulisan tersebut mengulas tentang cara pandang industri yang relatif sempit
dan terbatas sehingga sering kali gagal mendefenisikan area bisnis yang sedang
digelutinya. Sebagai ilustrusi, Levitt mengambil contoh perusahaan kereta api
Amerika Serikat pada waktu itu, yakni American Express (AE). Manajemen AE
menganggap bahwa kompetitor mereka adalah perusahaan sejenis, selama tidak ada
perusahaan kereta api lainnya, maka AE merasa aman dari ancaman persaingan. Namun
apa yang terjadi kemudian ketika muncul South West (SW), perusahaan penerbangan
jarak pendek dengan kota destinasi yang sama dengan AE. SW menurunkan harga
tiketnya hingga mendekati harga tiket AE dengan cara meniadakan komponen snack
dan bagasi. Secara perlahan, penumpang AE beralih ke SW dan menyebabkan
performansi AE anjlok beberapa waktu. Kesalahan AE adalah karena memandang
dirinya sebagai perusahaan kereta api bukan pelaku bisnis transportasi dan
mengabaikan sektor usaha lainnya yang bisa mensubstitusi produknya.
SW dapat menurunkan tarif dengan
memisahkan komponen produk, khususnya produk inti (core product) dan produk
pelengkap (complementary product). Produk utama angkutan udara adalah
memindahkan orang dari satu kota ke kota lainnya, sedangkan jasa ketering dan
bagasi bersifat tambahan dan hanya melengkapi. Sebagian penumpang yang terbang terkadang
sudah makan atau membawa snack sendiri. Sedangkan urusan bagasi dapat diatasi
dengan membawa barang secukupnya sehingga bisa dijinjing masuk pesawat dan
disimpan dikabin. Sukses SW ini kemudian di benchmark oleh Ryan Air (RA),
maskapai yang didirikan pada tahun 1985 dan berbasis di Irlandia mampu
mengadopsi dengan baik konsep pricing yang digunakan oleh SW. RA menjual
tiketnya ke penumpang dengan murah, untuk menutupi biaya operasional dan
mendapatkan profit, ia memungut biaya tambahan untuk penanganan bagasi, layanan ketering, fee pembelian tiket via
kartu kredit, penumpang prioritas, perusahaan mitra yang beriklan di dalam
kabin pesawat dan subsidi dari rute penerbangan premium.
Terobosan tarif yang dilakukan oleh
SW dan kemudian dikembangkan oleh RA dalam konteks marketing lazim dikenal
dengan sebutan unbundling marketing. Unbundling pada dasarnya adalah memisahkan
produk / jasa yang umum dijual secara paket dan ditawarkan terpisah atau item
per item. Kepiawaian RA dalam menyiasati pentarifan bisnis penerbangan menjadi
sebuah inovasi dan menginspirasi banyak maskapai diberbagai negara, termasuk
Indonesia. Lion Air (LA) yang mulai operasi tahun 2000 memasuki pasar domestik
dengan menyasar segmen low cost carriers (LCC), tentu saja menggunakan
pendekatan unbundling. Melalui slogan “We Make People Fly”, LA mampu menggebrak
dan menggairahkan industri penerbangan tanah air. Perlahan-lahan market size
angkutan udara membesar, baik karena peralihan penumpang sektor transportasi
darat dan laut maupun tambahan penumpang dari masyarakat umum yang sebelumnya
belum pernah mengangkasa menggunakan Garuda dan Merpati.
Gelora kompetisi
operator penerbangan dalam negeri makin terasa ketika Air Asia (AA) mulai
menyambangi pasar Indonesia beberapa tahun lalu. Baik LA maupun AA sama-sama
menggarap pasar LCC, sedangkan incumbent Garuda cenderung memilih segmen full
service carriers (FCC). Untuk menahan laju LA, AA dan operator lainnya pada
segmen LCC, Garuda memilih membesarkan anak usahanya CitiLink (CL). Semarak
perang dipasar LCC tentu menguntungkan masyarakat, baik karena harga tiket yang
lebih terjangkau maupun karena tersedianya sejumlah opsi operator. Walaupun
menawarkan tiket murah, operator LCC tidak boleh mengabaikan faktor
keselamatan, kenyamanan dan ketepatan waktu penerbangan. Termasuk menjaga batas
atas harga tiket agar tidak melampaui harga rata-rata FCC khususnya pada saat peak
season
Tidak ada komentar:
Posting Komentar