Anda mungkin masih ingat adegan iklan
rokok dengan thema wisata ke Yogya. Tiga orang muda pekerja kantoran sedang
menghadap atasannya dan tiba-tiba sang Bos mengungkapkan bahwa mereka telah
bekerja dengan prestasi yang membanggakan. Sebagai penghargaan atas kerja keras
dan kerja cerdas yang diraih tim tersebut, perusahaan memberikan bonus berupa
tiket travelling ke Yogya. Saking
girangnya dengan reward dari
perusahaan, mereka tidak begitu konsen kemana tujuan perjalanan yang sebenarnya,
urusan keberangkatan sepenuhnya mereka percayakan kepada travel agent. Selama persiapan keberangkatan, mereka sibuk
merayakan kemenangan dan membayangkan semua hal yang menyenangkan seputar kota
Gudeg. Entah karena capek, sepanjang perjalanan mereka tertidur hingga tiba di
bandara tujuan. Begitu turun dari pesawat, mereka terkesima dan sumringah
karena bandara tempat kakinya berpijak bukan Adi Sucipto melainkan Ngurah Rai
Bali. Ekspresi kegembiraan merekapun meluap tak terbendung mendapati apresiasi
yang sangat luar biasa. Impian mereka tentang pernak pernik seni kawasan Malioboro
dan keramahtamahan masyarakat Yogya ternyata berganti menjadi keindahan pantai
Kuta, Dreamland, pusat Seni Ubud, pasar seni Sukawati dan tempat-tempat wisata
menarik lainnya di pulau Dewata Bali.
Iklan di atas adalah bentuk
visualisasi tentang beyond imagination
marketing. Paket reward bagi
karyawan kategori excellenct achiever
lumrah dan dapat ditemukan dibanyak perusahaan dalam industri manapun. Lalu
kenapa kemudian sebuah event yang
biasa dan bersifat generik mampu menciptakan kehebohan dan menimbulkan surprising bagi karyawan yang
bersangkutan. Tentu saja karena ada gap
positif antara harapan dan kenyataan yang menyertai program travelling tersebut. Mereka mendambakan
liburan ke Yogra tetapi kenyataannya diberi paket wisata ke Bali. Siapapun
pasti merasa senang, bangga dan terharu bila memperoleh value yang bisa melampaui ekspektasinya atas suatu barang atau
jasa.
Kita tidak dapat memungkari bahwa
sampai saat ini, Bali masih merupakan the
ultimate tourism area in Indonesia bahkan juga menjadi major tourism destinations in world. Meskipun telah diterpa
serangan bom beberapa kali, minat wisatan domestik dan asing untuk berkunjung
ke Bali tidak bergeming. Mereka yang pernah datang ke Bali tetap memiliki
keinginan untuk kembali dan menjadikannya prefered
place dalam agenda wisatanya. Mengapa Bali begitu identik dengan kegiatan
pariwisata? Bukankah secara komparatif seluruh potensi wisata yang ada di sana
juga dimiliki oleh daerah lain di tanah air, sebut saja misalnya Makassar atau
Sulawesi Selatan. Jawaban paling mudah atas pertanyaan ini adalah : “Bali
memang sudah dari sononya dikondisikan sebagai daerah tujuan wisata”, jadi
lambat laun terbentuk identitas dan reputasi ditingkat lokal maupun global. Dalam
konteks marketing, identitas dan
reputasi merupakan cikal bakal terbentuknya brand.
Bila brand tersebut dikelola
sistematis dan dikomunikasi secara kontinyu dengan positioning yang pas, maka ia akan menjelma menjadi karakter.
Karakter pulau Dewata sebagai area tujuan wisata mendapat dukungan positif dari
stakeholders-nya (khususnya
Masyarakat dan Pemerintah setempat). Kombinasi variabel identitas dan reputasi
serta dukungan kuat dari stakeholder
adalah fondasi kekuatan Bali yang memungkinkannya bermetamorfosa dari sekedar
lokasi wisata menjadi bisnis dan industri kepariwisataan yang tersohor
mengalahkan keterkenalan nama Indonesia.
Prestasi Bali dalam sektor pariwisata
layak menjadi benchmark dan inspirasi
bagi kota-kota besar lainnya di Indonesia, termasuk Makassar. Makassar
menyandang predikat sebagai pintu gerbang kawasan timur Indonesia, sebutan
tersebut jangan sampai hanya menjadi sekadar label atau nama saja tanpa
menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian masyarakat. Shakespeare boleh saja menganggap nama tidak memiliki arti, tapi bagi
orang marketing, nama (baca brand) mengandung banyak asosiasi dan bernilai
ekonomi. Nilainya sangat bergantung terhadap bagaimana sang empunya nama
mengelola, merawat dan membesarkannya. Beberapa tahun terakhir, banyak kota di
Indonesia yang sedang sibuk berbenah dan mencari-cari nama yang pas dengan ciri
dan identitas kotanya. Bahkan tidak sedikit yang menyewa konsultan atau agency profesional untuk memanajemeni
program city branding dan marketing communication-nya. Sejumlah TV
swasta nasional pernah gencar menayangkan iklan “Enjoy Jakarta”, “Yogya Never
Ending Asia”, dan “Malaysia Trully
Asia”.
Sebagian orang mungkin bertanya, “apakah perlu dan urgent melakukan city
branding”? Ya, tentu saja perlu walaupun tidak harus mendesak! Perhatikan
sekeliling Anda, semua aspek kehidupan manusia sedang dilanda suasana
kompetisi, entah skalanya kecil, sedang maupun berat. Sekalipun memiliki uang
yang melimpah tidak serta merta menjamin Anda akan memperoleh produk (barang
ataupun jasa) kebutuhan sehari-hari dengan mudah. Cobalah beli mobil atau motor
baru tanpa indent terlebih dahulu,
kemungkinan besar Anda tidak akan bisa langsung mengendarainya, antri dulu
menunggu giliran. Jika untuk level individu saja kompetisinya seperti itu,
apalagi ditingkat perusahaan, pemerintah daerah (Kabupaten, Kota / Provinsi)
dan Negara. Dalam suasana yang kompetitif, siapapun pelakunya wajib
menyesuaikan diri secara kontinyu dan konsisten dengan dinamika kompetisi.
Disamping itu, mereka juga perlu membangun understanding
dan relationship dengan semua
komponen stakeholders-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar