Selasa, 27 November 2012

PRIDE MARKETING (Bagian 1)


Anda mungkin masih ingat adegan iklan rokok dengan thema wisata ke Yogya. Tiga orang muda pekerja kantoran sedang menghadap atasannya dan tiba-tiba sang Bos mengungkapkan bahwa mereka telah bekerja dengan prestasi yang membanggakan. Sebagai penghargaan atas kerja keras dan kerja cerdas yang diraih tim tersebut, perusahaan memberikan bonus berupa tiket travelling ke Yogya. Saking girangnya dengan reward dari perusahaan, mereka tidak begitu konsen kemana tujuan perjalanan yang sebenarnya, urusan keberangkatan sepenuhnya mereka percayakan kepada travel agent. Selama persiapan keberangkatan, mereka sibuk merayakan kemenangan dan membayangkan semua hal yang menyenangkan seputar kota Gudeg. Entah karena capek, sepanjang perjalanan mereka tertidur hingga tiba di bandara tujuan. Begitu turun dari pesawat, mereka terkesima dan sumringah karena bandara tempat kakinya berpijak bukan Adi Sucipto melainkan Ngurah Rai Bali. Ekspresi kegembiraan merekapun meluap tak terbendung mendapati apresiasi yang sangat luar biasa. Impian mereka tentang pernak pernik seni kawasan Malioboro dan keramahtamahan masyarakat Yogya ternyata berganti menjadi keindahan pantai Kuta, Dreamland, pusat Seni Ubud, pasar seni Sukawati dan tempat-tempat wisata menarik lainnya di pulau Dewata Bali.
Iklan di atas adalah bentuk visualisasi tentang beyond imagination marketing. Paket reward bagi karyawan kategori excellenct achiever lumrah dan dapat ditemukan dibanyak perusahaan dalam industri manapun. Lalu kenapa kemudian sebuah event yang biasa dan bersifat generik mampu menciptakan kehebohan dan menimbulkan surprising bagi karyawan yang bersangkutan. Tentu saja karena ada gap positif antara harapan dan kenyataan yang menyertai program travelling tersebut. Mereka mendambakan liburan ke Yogra tetapi kenyataannya diberi paket wisata ke Bali. Siapapun pasti merasa senang, bangga dan terharu bila memperoleh value yang bisa melampaui ekspektasinya atas suatu barang atau jasa.
Kita tidak dapat memungkari bahwa sampai saat ini, Bali masih merupakan the ultimate tourism area in Indonesia bahkan juga menjadi major tourism destinations in world. Meskipun telah diterpa serangan bom beberapa kali, minat wisatan domestik dan asing untuk berkunjung ke Bali tidak bergeming. Mereka yang pernah datang ke Bali tetap memiliki keinginan untuk kembali dan menjadikannya prefered place dalam agenda wisatanya. Mengapa Bali begitu identik dengan kegiatan pariwisata? Bukankah secara komparatif seluruh potensi wisata yang ada di sana juga dimiliki oleh daerah lain di tanah air, sebut saja misalnya Makassar atau Sulawesi Selatan. Jawaban paling mudah atas pertanyaan ini adalah : “Bali memang sudah dari sononya dikondisikan sebagai daerah tujuan wisata”, jadi lambat laun terbentuk identitas dan reputasi ditingkat lokal maupun global. Dalam konteks marketing, identitas dan reputasi merupakan cikal bakal terbentuknya brand. Bila brand tersebut dikelola sistematis dan dikomunikasi secara kontinyu dengan positioning yang pas, maka ia akan menjelma menjadi karakter. Karakter pulau Dewata sebagai area tujuan wisata mendapat dukungan positif dari stakeholders-nya (khususnya Masyarakat dan Pemerintah setempat). Kombinasi variabel identitas dan reputasi serta dukungan kuat dari stakeholder adalah fondasi kekuatan Bali yang memungkinkannya bermetamorfosa dari sekedar lokasi wisata menjadi bisnis dan industri kepariwisataan yang tersohor mengalahkan keterkenalan nama Indonesia.
Prestasi Bali dalam sektor pariwisata layak menjadi benchmark dan inspirasi bagi kota-kota besar lainnya di Indonesia, termasuk Makassar. Makassar menyandang predikat sebagai pintu gerbang kawasan timur Indonesia, sebutan tersebut jangan sampai hanya menjadi sekadar label atau nama saja tanpa menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian masyarakat. Shakespeare boleh saja menganggap nama tidak memiliki arti, tapi bagi orang marketing, nama (baca brand) mengandung banyak asosiasi dan bernilai ekonomi. Nilainya sangat bergantung terhadap bagaimana sang empunya nama mengelola, merawat dan membesarkannya. Beberapa tahun terakhir, banyak kota di Indonesia yang sedang sibuk berbenah dan mencari-cari nama yang pas dengan ciri dan identitas kotanya. Bahkan tidak sedikit yang menyewa konsultan atau agency profesional untuk memanajemeni program city branding dan marketing communication-nya. Sejumlah TV swasta nasional pernah gencar menayangkan iklan “Enjoy Jakarta”, “Yogya Never Ending Asia”, dan “Malaysia Trully Asia”.
Sebagian orang mungkin bertanya, “apakah perlu dan urgent melakukan city branding”? Ya, tentu saja perlu walaupun tidak harus mendesak! Perhatikan sekeliling Anda, semua aspek kehidupan manusia sedang dilanda suasana kompetisi, entah skalanya kecil, sedang maupun berat. Sekalipun memiliki uang yang melimpah tidak serta merta menjamin Anda akan memperoleh produk (barang ataupun jasa) kebutuhan sehari-hari dengan mudah. Cobalah beli mobil atau motor baru tanpa indent terlebih dahulu, kemungkinan besar Anda tidak akan bisa langsung mengendarainya, antri dulu menunggu giliran. Jika untuk level individu saja kompetisinya seperti itu, apalagi ditingkat perusahaan, pemerintah daerah (Kabupaten, Kota / Provinsi) dan Negara. Dalam suasana yang kompetitif, siapapun pelakunya wajib menyesuaikan diri secara kontinyu dan konsisten dengan dinamika kompetisi. Disamping itu, mereka juga perlu membangun understanding dan relationship dengan semua komponen stakeholders-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar