Selasa, 01 September 2009

ACROBAT JOGER DALAM MARKETING

Oleh banyak kalangan, Mr Joger dikenal karena strategi pemasarannya yang paradoksal. Ia menciptakan produk bagus, tetapi justru menyatakan bahwa produknya jelek. Ia menjual produk, tetapi sekaligus melarang orang membeli produknya melebihi batas yang ia tentukan. Ia ingin pasarnya luas, tapi justru mengurangi 3 gerainya menjadi hanya 1 saja. Tetapi jangan salah, justru pendulum-pendulum yang berayun dari kiri ke kanan secara konsisten itulah yang meroketkan namanya.

Waktu menunjukkan pukul 09.00 WITA ketika MARKETING meninggalkan penginapan di kawasan Tuka menuju Jalan Raya Kuta, satu-satunya outlet cenderamata khas Bali "Joger" pimpinan Mr Joger. Perjalanan sekitar 45 menit. Biasanya, pabrik kata-kata itu selalu buka pukul 10.00 WIJo (Waktu Indonesia bagian Joger). Namun, berdasarkan pengalaman pula, pintu outlet itu jarang buka tepat waktu. Bisa kurang, sering pula lebih.

Dan benar. Pagi itu, sebuah papan pengumuman menandakan bahwa kesabaran menunggu kembali diuji. Papan kecil itu bertuliskan, "Menurut kesepakatan kami, hari ini pukul 10.00 adalah pukul 10.50." Sorenya, pukul 18.00 yang menandakan waktu tutup pun akan dikenakan perlakuan yang sama.

Itulah gaya Joger yang sangat terkenal berkat permainan kata-katanya. Karena identitas ini pula, orang tidak akan bersungut-sungut ketika menjumpai pintu outlet masih terkunci rapat pada waktu "seharusnya" ia buka. Justru sebaliknya, geli menertawakan diri sendiri karena merasa "dikibuli".

Mengapa begitu? Karena Joger adalah bisnis kreativitas. Dalam bisnis seperti ini, diferensiasi dan inovasi adalah keniscayaan. Selalu tampil unik, dan demikian selalu diingat orang. Keunikan ini pulalah yang mengikat loyalitas konsumen pada produk-produknya. Maka tak heran, setiap pergi ke Bali, selalu saja ada orang yang titip untuk dibelikan produk Joger, entah kaus, gantungan kunci, mug, dan masih banyak lagi. Ini wajar, mengingat setiap hari Joger menelurkan minimal satu desain. Jadi, setiap hari selalu ada yang baru. Misalnya, angka "151204" menunjukkan tanggal suatu produk dihasilkan.

Bukan hanya pada produknya saja Joger unik. Pada keseluruhan strategi yang dicetuskannya, Joger boleh dibilang melepaskan diri dari pakem pemasaran pada umumnya. Beberapa contoh bisa disebutkan. Pertama, sejak 1987, dua outlet "Toko Seni dan Batik Joger" di Denpasar ditutup, padahal keduanya untung. Beberapa "cabang", yang dikelola kolega-kolega bisnisnya di berbagai kota pun ditarik. "…75% potential buyers kami adalah orang-orang Jakarta.

Bayangkan saja bagaimana sibuknya kami kalau mau buka cabang di Jakarta yang penuh orang kaya itu? Dan yang lebih runyam lagi, kalau kami benar-benar buka cabang di Jakarta, tentunya orang-orang Jakarta yang biasanya ke Bali untuk mencari Joger tidak akan merasa perlu lagi buang waktu dan energi jauh-jauh ke Bali. Ini tentu akan mengurangi masuknya 'devisa' untuk Bali, hehehe…," tulis Mr Joger dalam koran Joger Post Desa yang diterbitkannya secara sesuka hati. Ya, sesuka hati, karena sejak edisi pertama yang diluncurkan 10 Juni 1998 itu, edisi keduanya baru keluar 10 Oktober 1999.

Sejak 1986, satu-satunya outlet yang dikelolanya hanyalah yang terletak di Jalan Raya Kuta dengan nama "Joger Handicraft Centre". "Agar saya fokus pada bisnis ini," ujar pemilik nama asli Joseph Theodorus Wuliandi ini. Dan sejak 1990 ia getol memperkenalkan nama baru "Pabrik Kata-Kata Joger".

Kedua, sejalan dengan strategi itu, promosi yang digaungkannya pun justru bernuansa dispromosi, yakni justru tidak menonjolkan keunggulannya. Lihat tagline-nya "Bali Bagus. Joger Jelek". Anehnya, justru keberaniannya menjelek-jelekkan diri inilah yang menjadikan Joger sangat terkenal, sebab orang yakin bahwa produk yang dihasilkannya tidak jelek.

Ketiga, keunikan dalam strategi penjualan. Umumnya pedagang akan berusaha mengejar omzet atau nilai penjualan yang tinggi untuk mencapai keuntungan. Namun, tidak bagi Joger. Prinsip yang dianutnya bukan profit oriented, tapi happines oriented. Sampai dengan Desember tahun lalu, Joger mengenakan pembatasan pembelian item kepada setiap konsumennya tanpa kecuali. Maksimal 10 potong setiap transaksi. Sedangkan sejak Januari tahun ini, jumlah maksimal itu dinaikkan sedikit menjadi 12 piece. Strategi ini sangat berkaitan erat dengan filosofi dasar yang diimaninya, "Lebih baik sedikit tapi cukup daripada banyak tapi kurang," katanya seraya menambahkan, "Saya berharap orang beli kepuasan, kebahagiaan, bukan beli barang."

Meski begitu, kepada MARKETING, Mr. Joger tidak mengelak untuk menjawab berapa keuntungan yang diperolehnya dari berjualan sekitar 10.000 item produk berbagai bentuk itu. Harga jual yang ditetapkannya berkisar 1,5 kali biaya produksi. Dari hasil akhir penghitungan itu, Mr Joger mengambil keuntungan 5,8%. "Saya tidak mau mengejar omzet. Saya mau mengontrol omzet," cetusnya tanpa memerinci dari mana angka 5,8% itu diperoleh. Ia hanya menyebut istilah rentabilitet, perkalian tetap.

Sumber : Majalah Marketing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar