Rabu, 02 September 2009

VALUE PRICING

Seorang teman saya sering mengeluh tentang kesulitan dia mendisiplinkan karyawannya, terutama ketika mengundang mereka untuk melakukan meeting, seminar, rapat atau kegiatan sejenisnya. Berbagai upaya telah dia lakukan agar peserta yang diundang bisa hadir tepat waktu, tetapi hasilnya tetap saja ada yang terlambat.

Dia kadang merasa heran, karena rata-rata mereka yang terlambat umumnya menggunakan jam tangan. Bahkan sebagian besar memakai jam tangan merek terkenal dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Suatu hal yang sangat mustahil jika mereka tidak tau membaca waktu yang ada pada jam tangan tersebut. Lalu kenapa masih juga terlambat?, mungkinkah ini adalah suatu streotipe atau tabiat.

Jawabannya bisa ya bisa tidak, namun dalam kasus ini kita tidak mempersoalkan hal itu. Konsen kita adalah mengapa orang tertentu rela membayar mahal untuk sebuah mesin penunjuk waktu yang disebut jam tangan (arloji). Semua orang sudah tahu bahwa fungsi utama arloji adalah menunjukan waktu baik hari, tanggal maupun jam. Tetapi dalam konteks ini, mereka mengabaikan fungsi dimaksud, mereka membayar dengan biaya yang mahal untuk sebuah arloji bukan karena mengharapkan core benefit-nya sebagai mesin waktu. Namun lebih kepada keinginan untuk mengekpresikan diri.

Dengan memakai jam tengan merek terkenal dan mahal, mereka ingin mencitrakan dirinya sebagai eksekutif, manager atau pengusaha yang sukses dengan kelas tertentu. Kumpulan nilai yang melekat dalam sebuah produk dan diasosiasikan oleh konsumen sebagai simbol, status sosial, citra / image, gengsi maupun gaya hidup yang merupakan variabel yang menyebabkan segmen tersebut kurang peka terhadap harga. Inilah yang disebut dalam strategi harga sebagai value based price atau lebih populer dengan sebutan value pricing.

Value atau nilai adalah perbandingan antara total get (manfaat komulatif) dan total give (biaya total). Komponen total get adalah manfaat atau fungsi nyata (functional benefit) yang diterima konsumen atas keputusannyamembeli suatu produk. Manfaat membeli tiket pesawat udara adalah memindahkan Anda dari suatu kota ke kota lainnya. Disamping fungsi / manfaat tadi, konsumen juga juga memperoleh nilai emosional (emotional benefit) dari produk yang bersangkutan, misalnya status, citra atau gengsi.

Sementara total give-nya berupa jumlah uang yang dibayarkan (monetary cost) dan pengorbanan lainnya (other expenses) yang dikeluarkan oleh penumpang tersebut untuk menikmati penerbangan dimaksud. Pada situasi tertentu, kadang-kadang konsumen justru memberi pengorbanan tenaga, pikiran, waktu dan emosi yang lebih besar dibanding nilai uang yang mereka keluarkan. Tentu saja hal seperti ini tidak diinginkan. Sebab dalam perspektif value pricing, konsumen lebih mengutamakan sisi manfaat emosional daripada fungsi riel produk.

Mereka dengan suka rela mau mengeluarkan uang yang banyak demi memenuhi hasrat emosinya. Karena itu, produsen perlu terus meningkatkan nilai emosional produk dan berusaha keras mengurangi biaya non finansial yang harus dikorbankan oleh konsumen. Ada beberapa faktor yang memungkinkan sebuah produk dapat dijual dengan harga premium dengan menggunakan metode value pricing. Faktor-faktor dimaksud antara lain adalah persepsi kualitas (perceived quality), asosiasi merek (brand association), distribusi dan tingkat kustemisasi (product customization).

Bicara masalah kualitas, ada perbedaan yang mendasar antara kulitas menurut produsen dan kualitas menurut konsumen. Dalam kamus produsen kualitas adalah kecocokan antara standar produksi dengan realisasi produk. Jika semua standar terpenuhi, maka barang atau jasa terkait diyakini berkualitas. Sedangkan bagi konsumen kualitas lebih identik dengan kesesuaian antara ekspektasi / persepri dengan pengalaman yang mereka temui ketika mengkonsumsi produk. Produk dengan kualitas nomor satu berdasarkan hasil uji lab tidak otomatis dominan dan menguasai pangsa pasar. Karena konsumen memiliki logika sendiri dalam menilai kualitas suatu produk, yakni persepsi kualitas. Persepsi ini tidak lahir dengan sendirinya dalam benak konsumen, tetapi dibangun melalui kegiatan promosi yang terencana dan integratif.

Sebagai contoh mari kita lihat industri air minum dalam kemasan (AMDK) . Di Makassar ada kurang lebih 30 perusahaan AMDK dengan harga jual bervariasi dari Rp 3.000 sampai Rp 15.000. Meskipun jumlahnya banyak dan harganya relatif lebih murah tetapi peminat Aqua tetap banyak sekalipun harga jualnya lebih mahal, yaitu Rp 25.000 – 30.000. Kenapa? Karena Aqua dipercaya lebih berkualitas dan mampu meningkatkan derajat kesehatan tubuh.Inilah value Aqua yang tidak dimiliki oleh AMDK lainnya, sehingga konsumen mau membeli dengan harga tersebut.

Faktor kedua value pricing adalah asosiasi merek. Banyak merek yang mempunyai asosiasi tertentu, sebut saja salah satunya adalah Sony. Siapapun pasti familiar dengan merek ini dan mungkin beberapa barang elektronik yang Anda gunakan di rumah, di kantor atau di mobil adalah varian merek tersebut. Kalau mendengar kata Sony, maka yang muncul dalam benak kita adalah kualitas (andal) dan inovatif (modis). Kedua asosiasi tersebut sudah melekat pada semua produk Sony dan telah diterima oleh konsumen sebagai suatu fakta selama bertahun-tahun. Karena itu konsumen bisa memahami / menerima bila semua produk Sony dijual rata-rata lebh mahal dari barang-barang elektronik merek lainnya.

Aspek distribusi dapat juga berpengaruh terhadap harga jual sebuah produk. Lihat saja air minum merek Equil, nyaris dapat dipastikan bahwa Anda tidak dapat menemukannya di supermarket, mall apalagi pasar tradisional. Distribusi Equil sangat terbatas dan diperuntukkan khusus untuk kalangan tertentu saja. Dalam setiap rapat kabinet, para mentri dan pejabat tinggi negara lainnya disuguhi air minum merek ini, begitu pula dengan acara jamuan bagi tamu negara. Diluar acara tersebut, Equil hanya dipasarkan pada hotel-hotel berbintang dan komunitas tertentu. Karena keunikan distribusi dan pasarnya, Equil dapat menikmati harga jual premium. Variabel terakhir value pricing adalah kustemisasi atau taylor made product.

Ada kelompok konsumen tertentu yang menginginkan suatu produk di desain khusus sesuai dengan selera yang bersangkutan. Persis seperti ketika dia memesan gaun pada seorang penjahit. Mulai dari jenis kain, warna, benang, model dan sebagainya dia yang memilih dan menentukannya, sedangkan penjahit hanya membuatnya menurut order dimaksud. Semakin tinggi tingkat kustemisasi sebuah produk, makin mahal biaya yang dapat dikenakan pada barang tersebut. Anda saya kira kenal dengan merek Ferrari, ini adalah mobil yang tidak diproduksi dan dijual secara umum. Bila seseorang berminat, ia dapat memesannya menyertakan desain dan aksesoris yang diinginkannya. Sebagai imbalannya peminat harus bersedia membayar dengan harga milyaran rupiah per unit.

Disinilah keistimewaan value pricing, "you get more for giving more". Sukses untuk produk, Anda Salam Pemasaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar